Sabtu, 23 November 2013

Budaya Bali: Hilang, Rapuh, Bertahan



1.      Budaya Bali:
a.      Sudah Hilang
·      Arsitektur Rumah Bali
Dari jaman dahulu para undagi Bali sangat ketat dan taat mengikuti aturan atau pakem dalam mendirikan bangunan, sehingga aturan pembangunan di Bali seperti dikenal dalam rontal Asta Kosala Kosali atau Asta Petali. Undagi jaman dahulu tidak berani keluar dari konsep yang telah digariskan oleh para leluhurnya, sehingga dikenal adanya konsep tata ruang Tri Loka atau Tri Angga, yakni membagi areal hunian menjadi tiga yaitu nista, madya dan utama atau bhur,bwah dan swah yang akhirnya menjadi konsep Tri Hita Karana dan akhirnya melahirkan konsep orientasi kosmologi yang disebut Nawa Sanga atau Sanga Mandala. Di jaman dahulu orang menggunakan sikut, sehingga bangunan yang akan dibuat sesuai dengan proporsi pemiliknya, menjadi nyaman dan menyenangkan, karena selalu memperhatikan ruang terbuka yang di sebut natah dan adanya pengaturan waktu dalam penyediaan bahan bangunan, sehingga keseimbangan dan kelestarian alam tetap terjaga. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembutan rumah juga sangat sederhana. Bahan-bahan yang digunakan anatara lain tanah yang ditumpuk-tumpuk sehingga berwujud tembok dan atap rumahnya menggunakan rumput lalang atau daun kelapa.
Namun, arsitektur rumah-rumah bali di daerah saya sendiri (ubud) kini mulai ditinggalkan seiring ada pengaruh dari luar dan pengaruh jaman dan teknologi seperti sekarang ini. Menurut bapak Garim salah satu tokoh masyarakat di desa saya. Saat ini masyarakat setempat menganggap bangunan seperti itu sudah "ketinggalan jaman". Masyarakat seolah-olah berlomba membuat bangunan rumah senyaman mungkin tanpa memperhitungan dasar-dasar dari membuat sebuah rumah atau bangunan. Mengenai tata ruang bangunanpun saat ini sudah tidak diperhatikan lagi. Masyarakan sekreatif mungkin membuat bangunan yang menarik seperti bangunan vila-vila yang tanpa memperhatikan tata ruang (asta kosala kosali) yang biasa dibuat oleh masyarakat jaman dulu. Seandainya orang Bali sudah tidak berminat lagi untuk mempergunakan arsitektur Bali, maka Bali akan menjadi asing di tanahnya sendiri. Karena perkembangan jaman dan perkembangan manusia, bangunan bertingkat tinggi akan segera merambah Bali. Kalau bangunan tingkat tinggi sudah merupakan suatu keharusan, karena menyelamatkan lahan dan menyikapi harga tanah yang mahal, maka Bali tidak ada bedanya dengan kota besar lainnya dan akan berubah menjadi kota metropolitan. Memang akan sangat disayangkan, namun itulah kenyataannya. Arsitektur Bali yang tersisa mungkin hanya terdapat pada bangunan Pura yang tetap bertahan selaras dengan perkembangan agama Hindu di Bali.
·         Transportasi Gedebeg
Alat transportasi gedebeg merupakan sarana transportasi yang dimiliki oleh masyarakat Bali pada jaman dulu. Alat transportasi ini berbentuk gerobak, yang terbuat dari kayu yang dipergunakan untuk mengangkut barang, terbuat dari kayu yang berbentuk rumah kecil dan tenaga yang digunakan sebagai penarik transportasi ini adalah seekor kerbau. alat transportasi ini biasanya digunakan untuk mengankut hasil pertanian atau barang dagangan yang akan dibawa ke pasar. Namun, seiring perkembanggan jaman dan teknologi alat transportasi ini sudah ditinggalkan karena kurang evisiensi waktu dan digantingkan oleh mesin-mesin berkarat seperti truk dan lain sebgainya.
b.      Sudah Rapuh
·      Permainan Tradisional Bali
Permainan Tradisional Bali sekarang jarang bisa kita temukan apalagi di daerah perkotaan, perkembangan tekhnologi yang pesat hampir menenggelamkan mereka. Ada puluhan bahkan ratusan permainan tradisional yang ada, orang tua juga seolah-olah tidak memperhatikan dan cenderung tidak mampu mengarahkan anak-anak mereka dalam melakukan permainan yang memang ternyata cukup susah, karena permainan tradisional lebih menonjolkan permainan berkelompok yang membutuhkan kekompakan dan kebersamaan dan secara tidak langsung mendidik anak itu lebih bisa mengenal lingkungannya yang majemuk, bergaul dengan tidak memandang status sosial dan kebersamaanya, kesetiakawanan dengan suasana ceria di lingkungan mereka. Banyak permainan tradisional yang ada di Bali seperti; meong-meongan, metajog, nyen durine nyongkok, engkeb–engkeban, megoak-goakana, main gangsing, main tajog. Dengan perkembangan iptek yang pesat, anak-anak cenderung menggunakan tekhnologi yang ada seperti laptop, tablet, video games yang bisa dimainkan dari handphone, play station dan melalui internet. Mereka sepertinya lebih asik bermain alat tersebut, tidak lagi berinteraksi dengan lingkungan dengan teman sesamanya. Mereka hanya terfokus untuk menang mengumpat kalau kalah. Anak-anak sampai kecanduan dan tidak fokus belajar, apalagi permainan yang menggunakan handphone yang katanya ada ‘radiasi‘ yang bisa mempengaruhi sel-sel tubuh dan perkembangan otak, ini tentunya akan sangat berbahaya bagi perkembangan anak. Peran aktif orang tua sangat dibutuhkan dalam mengarahkan dan membimbing mereka.
·      Subak di Bali
Subak sedang menghadapi bermacam tantangan, lebih-lebih dalam menyongsong era globalisasi yang jika tidak teratasi maka kelangsungan hidup subak bisa terancam. Subak Bali yang diputuskan menjadi Warisan Dunia oleh UNESCO pada Jumat, 29 Juni 2012 harus dapat memertahankan nilai asli budaya masyarakat Bali dan tradisi kuno subak perlu dilestarikan. Subak tidak hanya berfungsi sebagai sistem irigasi, tapi juga merupakan bagian dari keyakinan rohani. Pengakuan dari UNESCO dapat mendorong pemerintah dan petani lokal untuk tetap menjaga dan memertahankan subak. Ironisnya, setiap tahun sekira 1.000 hektar lahan pertanian di Bali telah diubah menjadi hotel, restoran, vila dan rumah. Karena itu, perlu adanya perlindungan khusus dari pihak internasional agar subak tidak hilang begitu saja. Pariwisata di Bali sebenarnya bisa mengancam kelestarian subak. Pasalnya, adanya pengembangan wisata di sekitar subak membuat harga properti di sekitarnya naik sehingga petani harus membayar pajak mahal. Tradisi yang selama ini hidup dikhawatirkan juga hilang yaitu contohnya di Gunung Sari desa Peliatan, Ubud yang setiap tahunnya dilaksanakan ritual panen. Petani akan berkumpul untuk berdoa meminta keselamatan dan hasil panen yang baik. Bila Subak hilang, budaya Bali juga akan hilang. Subak sangat penting karena merupakan dasar dari budaya Bali.
c.       Masih Bertahan
·      Upacara Ngaben
Pulau Bali yang juga dikenal sebagai “Pulau Seribu Pura” memiliki ritual khusus dalam memperlakukan leluhur atau sanak saudara yang telah meninggal. Apabila di tempat lain orang yang meninggal umumnya dikubur, tidak demikian dengan masyarakat Hindu di Bali. Sebagaimana penganut Hindu di India, mereka akan menyelenggarakan upacara kremasi yang disebut Ngaben, yaitu ritual pembakaran mayat sebagai simbol penyucian roh orang yang meninggal.
Tradisi budaya ngaben ini merupakan warisan leluhur masyarakat Bali dan diteruskan secara turun temurun ke anak cucunya. Upacara pengabenan ini juga menjadi salah satu penarik wisatawan di Bali karena keunikan dan keseniannya. Budaya ini masih bertahan, dapat kita lihat di puri Ubud yang baru-baru ini melaksanakan upacara pengabenan dengan membuat bade, dan sarana upakara lainnya.
·      Ogoh-ogoh
Ogoh-ogoh merupakan karya seni patung dalam kebudayaan Bali. Budaya Ogoh-ogoh ini tetap bertahan hingga saat ini. Ogoh-ogoh ini kebudayaan yang menggambarkan kepribadian “Bhuta Kala” dan sudah menjadi ikon ritual yang secara tradisi sangat penting dalam penyambutan Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka. Seluruh umat Hindu Dharma akan bersukaria menyambut kehadiran tahun baru itu dengan mengarak-arakan “ogoh-ogoh” yang dibarengi dengan perenungan tentang yang telah terjadi dan sudah dilakukan selama ini pada saat “Pangerupukan” atau sehari setelah menjelang Hari Raya Nyepi, peristiwa dan prosesinya setiap tahunnya sama yaitu pada setiap banjar membuat ogoh-ogoh. Mengingat pentingnya Budaya ogoh-ogoh ini, sampai sekarang masih tetap bertahan dan lestari, dimana hampir setiap pengrupukan masing-masing seluruh desa pekraman di bali mengarak ogoh-ogoh keliling desa. Disamping itu dengan keberadaan arak-arakan “Ogoh-ogoh” yang sudah menjadi tradisi inilah yang menambah daya tarik wisata. Balipun memiliki budaya yang menjadi salah satu andalan kepariwisataan.
·      Tradisi Omed-omedan
Tradisi omed-omedan merupakan warisan nenek moyang sejak dulu dan  dilakukan secara turun temurun. Dahulu, omed-omedan hanya dilakukan hanya dengan tarik-tarikan, perkembangan jaman yang pesat lalu berubah ada ciuman. Pada saat sedang berciuman, air diguyur agar peserta tidak kepanasan dan ciumannya tidak menjadi lebih lama. Tradisi omed-omedan ini, dilakukan oleh dua kelompok yakni muda dan mudi. Pemuda berdiri membentuk barisan ke belakang dan saling berpelukan pada pinggang orang yang di depan. Demikian pula dengan kelompok pemudi. Jumlahnya tidak dibatasi. Pada saat dikasih aba-aba maka kelompok dua kelompok ini saling tarik menarik ke belakang, bertumpuh pada kaki dengan lengan di pingggang. Orang yang mengambil posisi di depan harus mampu berjalan ke depan sementara yang lain menarik berlawanan ke belakang. Saat orang yang di depan berhasil maju ke depan bertemu, disaat itulah keduanya berpelukan dan berciuman.

0 komentar:

Posting Komentar